[kuliah] Pasal-pasal Perpajakan
Undang-undang Pajak Penghasilan — Document Transcript
- 1. SLI DE UU RI No. 7 TH 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UU No. 36 TH 2008 Diedit Kembali Oleh : Dudi w ahyudi, Ak., MM ( www.dudiwahyudi.com) P2 HUMAS KANWIL DJP SUMSEL DAN KEP. BABEL 1
- 2. PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pasal 1 ADALAH PAJAK YANG DIKENAKAN TERHADAP SUBJEK PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEHNYA DALAM TAHUN PAJAK 2
- 3. DASAR HUKUM UU N o. 7 TAH UN 1 9 8 3 TEN TAN G PAJAK PEN GH ASI LAN SEBAGAI M AN A TELAH D I UBAH TERAKH I R D EN GAN UU N o. 3 6 TAH UN 2 0 0 8 • PP • KEP PRES • PER MENKEU • PER DIRJEN 3
- 4. SUBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (1) - ORANG PRIBADI - WARISAN YG BELUM TERBAGI BADAN BENTUK USAHA TETAP (BUT) 4
- 5. BUT Pasal 2 ayat (1A) m e r u pa k a n su bj e k pa j a k ya n g pe r la k u a n pe r pa j a k a n n ya dipe r sa m a k a n de n ga n su bj e k pa j a k ba da n 5
- 6. SUBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (2) SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI LUAR NEGERI 6
- 7. SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI Pasal 2 ayat (3) ORANG PRIBADI : - BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA - BERADA DI INDONESIA LEBIH DARI 183 HARI DLM 12 BULAN - DALAM SUATU TAHUN PAJAK BERADA DI INDONESIA DAN MEMPUNYAI NIAT BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA BADAN YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA WARISAN YANG BELUM TERBAGI 7
- 8. BUKAN SUBJEK PAJAK Pasal 2 ayat (3) UNI T TERTENTU DARI BADAN PEMERI NTAH SYARAT : 1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan; 2. pembiayaannya bersumber dari APBN/APBD; 3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; 8
- 9. SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI Pasal 2 ayat (4) • ORANG PRIBADI YG TIDAK BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA • ORANG PRIBADI YANG BERADA DI INDONESIA TIDAK LEBIH DARI 183 HARI DALAM 12 BULAN • BADAN YG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA YANG MENERIMA ATAU MEMPEROLEH YANG MENJALANKAN PENGHASILAN DARI USAHA ATAU INDONESIA BUKAN KEGIATAN MELALUI DARI MENJALANKAN BUT DI INDONESIA USAHA ATAU KEGIATAN MELALUI BUT DI INDONESIA 9
- 10. BENTUK USAHA TETAP Pasal 2 ayat (5) BENTUK USAHA YANG DIPERGUNAKAN OLEH ORANG PRIBADI BADAN SEBAGAI SEBAGAI SUBJEK PAJAK LN SUBJEK PAJAK LN UNTUK MENJALANKAN USAHA ATAU KEGIATAN DI INDONESIA 10
- 11. BENTUK USAHA TETAP Pasal 2 ayat (5) DAPAT BERUPA a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. gudang; h. ruang untuk promosi dan penjualan; i. pertambangan dan penggalian sumber alam; j. wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; m. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 ( enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 11
- 12. TEMPAT TINGGAL/ KEDUDUKAN WAJIB PAJAK Pasal 2 ayat (6) TEMPAT TEMPAT TINGGAL KEDUDUKAN ORANG PRIBADI BADAN DITETAPKAN OLEH DIRJEN PAJAK MENURUT KEADAAN YANG SEBENARNYA 12
- 13. KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Pasal 2A ayat (1),(2),(3),(4) dan (5) SUBJEK PAJAK SUBJEK PAJAK WARISAN DALAM NEGERI LUAR NEGERI YG BELUM TERBAGI ORANG PRIBADI SELAIN BUT MULAI : MULAI : - SAAT LAHIR SAAT MENERIMA MULAI : - SAAT BERADA ATAU /MEMPEROLEH SAAT BERNIAT TINGGAL PENGHASILAN DARI TIMBULNYA DI INDONESIA INDONESIA WARISAN BERAKHIR : BERAKHIR : - SAAT MENINGGAL SAAT TIDAK LAGI BERAKHIR : - MENINGGALKAN MENERIMA/MEMPERO SAAT INDONESIA UNTUK LEH PENGHASILAN WARISAN SELAMANYA. DARI INDONESIA SELESAI DIBAGIKAN BADAN BUT MULAI : MULAI : SAAT DIDIRIKAN/ SAAT MELAKUKAN BERKEDUDUKAN USAHA/KEGIATAN DI INDONESIA MELALUI BUT DI INDONESIA BERAKHIR : BERAKHIR : SAAT DIBUBARKAN SAAT TDK LAGI ATAU TIDAK LAGI MENJALANKAN BERKEDUDUKAN USAHA/KEGIATAN DI INDONESIA. MELALUI BUT DI INDONESIA. 13
- 14. KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF Pasal 2A ayat (6) KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF ORANG PRIBADI YANG BERADA ATAU BERTEMPAT TINGGAL DI INDONESIA HANYA MELIPUTI SEBAGIAN DARI TAHUN PAJAK MAKA BAGIAN TAHUN PAJAK TERSEBUT MENGGANTIKAN TAHUN PAJAK 14
- 15. TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK Pasal 3 BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK DAN KONSULAT ATAU PEJABAT-PEJABAT LAIN DARI NEGARA ASING, DAN ORANG-ORANG YG DIPERBANTUKAN KPD MEREKA YG BEKERJA PADA DAN BERTEMPAT TINGGAL BERSAMA-SAMA MEREKA DGN SYARAT BUKAN WNI DAN DI INDONESIA TDK MENERIMA ATAU MEMPEROLEH PENGHASILAN LAIN DI LUAR JABATAN ATAU PEKERJAANNYA TSB SERTA NEGARA YBS MEMBERIKAN PERLAKUAN TIMBAL BALIK ORGANISASI INTERNASIONAL (215/PMK.03/2008) YANG DITETAPKAN OLEH MENKEU DGN SYARAT INDONESIA MENJADI ANGGOTANYA DAN TDK MENJALANKAN USAHA / KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA SELAIN MEMBERIKAN PINJAMAN KPD PEMERINTAH YG DANANYA BERASAL DARI IURAN PARA ANGGOTA PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL (215/PMK.03/2008) YG DITETAPKAN DGN KEPMENKEU DGN SYARAT BUKAN WNI DAN TDK MENJALANKAN USAHA / KEGIATAN/ PEKERJAAN LAIN UTK MEMPEROLEH PENGHASILAN DARI INDONESIA. ORG. INTERNASIONAL DITETAPKAN DENGAN KEPMENKEU (215/PMK.03/2008) 15
- 16. OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1) PENGHASILAN SETIAP TAMBAHAN KEMAMPUAN EKONOMIS YANG : - Diterima atau diperoleh Wajib Pajak, - Berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, - Dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak, DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN 16
- 17. OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1) Penggantian atau imbalan berkenaan dgn pekerjaan atau jasa yg diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dlm bentuk lainnya, kec. ditentukan lain dlm UU ini Hadiah dari undian atau pekerjaan/kegiatan dan penghargaan Laba usaha Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. keuntungan krn pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sbg pengganti saham/penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. 17
- 18. OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (1) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan krn jaminan pengembalian utang Dividen, dgn nama dan dlm bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kpd pemegang polis, dan pembagian SHU koperasi Royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dgn penggunaan harta Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala Keuntungan krn pembebasan utang, kecuali sampai dgn jumlah tertentu ditetapkan dgn PP (PP No.130 Tahun 2000) Keuntungan selisih kurs mata uang asing, selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, premi asuransi, iuran yg diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yg terdiri dari WP yg menjalankan usaha / pekerjaan bebas, tambahan kekayaan neto yg berasal dari penghasilan yg belum dikenai pajak, penghasilan dari usaha yang berbasis syariah, imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan surplus Bank Indonesia. 18
- 19. PENGHASILAN TERTENTU Pasal 4 ayat (2) penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; penghasilan berupa hadiah undian; penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan penghasilan tertentu lainnya; DAPAT DIKENAKAN PPH FINAL DENGAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) 19
- 20. PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA TELAH DIATUR DGN PERATURAN PEMERINTAH (PP) 1. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK ( PP No. 41 TAHUN 1994 jo PP No. 14 TAHUN 1997) 2. PENGHASILAN DARI HADIAH UNDIAN ( PP No. 132 TAHUN 2000) 3. PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN (PP No. 48 TAHUN 1994 jo PP No.71 TAHUN 2008) 4. PENGHASILAN DARI BUNGA DEPOSITO DAN TABUNGAN SERTA DISKONTO SBI ( PP No. 131 TAHUN 2000 jo KMK No.51/KMK.04/2001) 5. PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN ( PP No. 29 TAHUN 1996 Jo. PP No. 5 Tahun 2002 ) 6. PENGHASILAN BERUPA BUNGA OBLIGASI ( PP No. 16 TAHUN 2009) 7. PENGHASILAN DARI USAHA JASA KONSTRUKSI DAN JASA KONSULTAN ( PP No. 140 TAHUN 2000 jo PP No. 51 TAHUN 2008) 8. PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGARA ( PP No. 27 TH 2008 20
- 21. PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA TELAH DIATUR DGN PERATURAN PEMERINTAH (PP) 9. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF BERUPA KONTRAK BERJANGKA YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA ( PP No. 17 TAHUN 2009) 10. PENGHASILAN BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI KEPADA ANGGOTA KOPERASI ORANG PRIBADI ( PP No. 15 TAHUN 2009) 21
- 22. TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3) BANTUAN ATAU SUMBANGAN TERMASUK SUMBANGAN WAJIB AGAMA YANG DIAKUI DI INDONESIA YANG DITERIMA OLEH BADAN ATAU LEMBAGA YG DIBENTUK/DISAHKAN PEMERINTAH DAN YG DITERIMA PENERIMA SUMBANGAN AGAMA YG BERHAK, YANG KETENTUANNYA DIATUR DG PERATURAN PEMERINTAH (PP NO. 18 TAHUN 2009) HARTA HIBAHAN DENGAN SYARAT TERTENTU (245/PMK.03/2008) WARISAN HARTA TERMASUK SETORAN TUNAI YG DITERIMA OLEH BADAN SEBAGAI PENGGANTI SAHAM ATAU PENYERTAAN MODAL PENGGANTIAN/IMBALAN DALAM BENTUK NATURA DAN ATAU KENIKMATAN DARI WAJIB PAJAK ATAU PEMERINTAH KECUALI YG DIBERIKAN OLEH BUKAN WP, WP FINAL ATAU WP NORMA KHUSUS PEMBAYARAN DARI PERUSAHAAN ASURANSI KEPADA ORANG PRIBADI SEHUBUNGAN DENGAN ASURANSI KESEHATAN/KECELAKAAN/JIWA/ DWIGUNA DAN BEA SISWA 22
- 23. TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3) DIVIDEN /BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH PT SBG WP D.N, KOPERASI,BUMN/BUMD, DARI PENYERTAAN MODAL PADA BADAN USAHA YANG DIDIRIKAN/ BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA DGN SYARAT DIVIDEN BERASAL DARI CADANGAN LABA YG DITAHAN DAN BAGI PT/BUMN/BUMD KEPEMILIKAN PADA BADAN YG MEMBERIKAN DIVIDEN PALING RENDAH 25% DARI JUMLAH MODAL YG DISETOR IURAN YG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DANA PENSIUN YG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH MENKEU PENGHASILAN DARI MODAL YG DITANAMKAN OLEH DANA PENSIUN YG PENDIRIANNYA TELAH DISAHKAN OLEH MENKEU DLM BIDANG-BIDANG TERTENTU YG DITETAPKAN DENGAN KMK BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH ANGGOTA DARI PERSEROAN KOMANDITER YG MODALNYA TDK TERBAGI ATAS SAHAM-SAHAM, PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA DAN KONGSI TERMASUK PEMEGANG UNIT PENYERTAAN KIK 23
- 24. TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK Pasal 4 ayat (3) PENGHASILAN YG DITERIMA/DIPEROLEH PERUSAHAAN MODAL VENTURA BERUPA BAGIAN LABA DARI BADAN PASANGAN USAHA YG DIDIRIKAN DAN MENJALANKAN USAHA/KEGIATAN DI INDONESIA DGN SYARAT BADAN PASANGAN USAHA MERUPAKAN PERUSAHAAN KECIL, MENENGAH, ATAU YG MENJALANKAN KEGIATAN DLM SEKTOR-SEKTOR USAHA YG DITETAPKAN DGN KEPMENKEU DAN SAHAMNYA TDK DIPERDANGKAN DI BURSA EFEK DI INDDONESIA BEASISWA YANG MEMENUHI PERSYARATAN TERTENTU YANG KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN ATAU BERDASARKAN PER. MENKEU (246/PMK.03/2008) SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG TELAH TERDAFTAR PADA INSTANSI YANG MEMBIDANGINYA, YANG DITANAMKAN KEMBALI DALAM BENTUK SARANA DAN PRASARANA KEGIATAN PENDIDIKAN DAN/ATAU PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, DALAM JANGKA WAKTU PALING LAMA 4 (EMPAT) TAHUN SEJAK DIPEROLEHNYA SISA LEBIH TERSEBUT, YANG KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN ATAU BERDASARKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN BANTUAN ATAU SANTUNAN YANG DIBAYARKAN OLEH BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KEPADA WAJIB PAJAK TERTENTU, YANG KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN ATAU BERDASARKAN PER. MENKEU (247/PMK.03/2008) 24
- 25. OBJEK PAJAK BUT Pasal 5 ayat (1) - USAHA/KEGIATAN BUT PENGHASILAN - HARTA YANG DIMILIKI/ DARI DIKUASAI BUT PENGHASILAN - USAHA ATAU KEGIATAN - PENJUALAN KANTOR PUSAT BARANG-BARANG DARI - PEMBERIAN JASA DI INDONESIA YG SEJENIS DGN YG DILAKUKAN BUT DI INDONESIA PENGHASILAN SEPANJANG ADA YG TERSEBUT HUBUNGAN EFEKTIF DLM PASAL 26 ANTARA BUT DGN YG DITERIMA HARTA/KEGIATAN YG ATAU MEMBERIKAN DIPEROLEH PENGHASILAN KANTOR PUSAT 25
- 26. OBJEK PAJAK BUT PENGHASILAN KANTOR PUSAT DARI USAHA ATAU KEGIATAN DAN PENJUALAN BARANG YG SEJENIS DENGAN YG DILAKUKAN BUT DI INDONESIA Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf b BANK BANK BUT PINJAMAN PT. B DI LUAR DI DI INDONESIA INDONESIA INDONESIA BUNGA PT. A DI PINJAMAN INDONESIA KANTOR BUT DI PT. D PUSAT INDONESIA DI BARANG INDONESIA DI L. N LISTRIK LABA PT. C DI BARANG LISTRIK INDONESIA KANTOR PUSAT BUT DI PT. F KONSULTAN INDONESIA DI JASA INDONESIA DI L. N KONSULTASI FEE PT. E DI JASA KONSULTASI INDONESIA 26
- 27. OBJEK PAJAK BUT PENGHASILAN KANTOR PUSAT TSB DALAM PASAL 26 SEPANJANG TERDAPAT HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DGN HARTA/KEGIATAN YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf c X. Inc BUT DI LUAR DI INDONESIA INDONESIA PERJANJIAN/ LISENSI PENGGUNAAN MERK“X Inc” ROYALTI PT. Y DI INDONESIA JASA MANAJEMEN; JASA PEMASARAN; JASA PRODUKSI 27
- 28. BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BUT Pasal 5 Ayat (2) BIAYA YANG BERKENAAN DENGAN PENGHASILAN KANTOR PUSAT SEHUBUNGAN DENGAN : PENGHASILAN SEBAGAIMANA - Usaha atau kegiatan, TSB DALAM PASAL 26 - Penjualan barang, JIKA TERDAPAT - Pemberian jasa, HUBUNGAN EFEKTIF ANTARA BUT DENGAN YG SEJENIS DGN YANG HARTA/KEGIATAN YG DIJALANKAN “BUT” DI MEMBERIKAN INDONESIA PENGHASILAN 28
- 29. PENENTUAN LABA BUT Pasal 5 Ayat (3) BIAYA ADM. KANTOR BIAYA YG BERKAITAN PUSAT YG BOLEH DGN USAHA DIBEBANKAN ATAU KEGIATAN BUT SBG BIAYA BESARNYA DITETAPKAN DIRJEN PAJAK PEMBAYARAN KPD - ROYALTI/IMBALAN SEHUB. DGN PENGGUNAAN HARTA, KANTOR PUSAT YG PATEN, ATAU HAK LAINNYA TIDAK BOLEH - IMBALAN SEHUB. DGN JASA DIBEBANKAN SBG MANAJEMEN DAN JASA LAINNYA BIAYA - BUNGA, KECUALI BUNGA YG BERKENAAN DGN USAHA PERBANKAN - ROYALTI/IMBALAN SEHUB. BUKAN SBG DGN PENGGUNAAN HARTA, PATEN, ATAU HAK LAINNYA PENGHASILAN BUT, - IMBALAN SEHUB. DGN JASA PEMBAYARAN DARI MANAJEMEN DAN JASA KANTOR PUSAT LAINNYA - BUNGA, KECUALI BUNGA YG BERUPA BERKENAAN DGN USAHA PERBANKAN 29
- 30. BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 ayat (1) BI AYA 3 M biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan royalti;biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. penyusutan dan amortisasi iuran kpd dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menkeu kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan kerugian selisih kurs mata uang asing biaya litbang perusahaan yg dilakukan di indonesia biaya bea siswa, magang dan pelatihan 30
- 31. BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 ayat (1) BI AYA 3 M Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat- syarat tertentu dan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menkeu sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah 31
- 32. BIAYA-BIAYA YANG BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 6 ayat (1A) BI AYA 3 M PERTAMBANGAN MI GAS DAN PERTAMBANGAN UMUM Biaya- biaya unt uk m endapat kan, m enagih, dan m em elihara penghasilan di bidang usaha pert am bangan Minyak dan Gas Bum i dan pert am bangan um um diat ur lebih lanj ut dengan Perat uran Pem erint ah 32
- 33. PENGELUARAN YANG BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA Pasal 6 ayat (1) huruf a PENGELUARAN YG MEMPUNYAI HUB. LANGSUNG DENGAN USAHA/KEGIATAN UTK MENDAPATKAN, MENAGIH,DAN MEMELIHARA (3M) PENGHASILAN YANG BUKAN YANG MERUPAKAN MERUPAKAN OBJEK OBJEK PAJAK PAJAK TIDAKBOLEH BOLEH DIBEBANKAN DIBEBANKAN SEBAGAI BIAYA SEBAGAI BIAYA . CONTOH . PENGHASILAN BRUTO DANA PENSIUN “A” a. PENGHASILAN YG BUKAN OBJEK PAJAK SESUAI PASAL 4 AYAT (3) HRF g SEBESAR Rp 100.000.000,00 b. PENGHASILAN BRUTO DI LUAR add a) SEBESAR Rp 300.000.000,00 TOTAL PENGHASILAN Rp 400.000.000,00 APABILA TOTAL BIAYA ADALAH Rp 200.000.000,00 MAKA BIAYA YG BOLEH DIKURANGKAN UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN ADALAH SEBESAR : 3/4 X Rp 200.000.000,00=Rp 150.000.000,00 33
- 34. PENGELUARAN YANG BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA Pasal 6 ayat (1) huruf h BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG MERUPAKAN OBJEK PAJAK, TERMASUK PIUTANG YANG NYATA-NYATA TIDAK DAPAT DITAGIH SYARAT 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial 2. harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k. PELAKSANAANNYA DIATUR PER MENKEU 34
- 35. KOMPENSASI KERUGIAN Pasal 6 ayat (2) KERUGIAN DAPAT DIKOMPENSASIKAN DENGAN PENGHASILAN MULAI TAHUN PAJAK BERIKUTNYA BERTURUT-TURUT SAMPAI DENGAN 5 (LIMA) TAHUN 35
- 36. PENGHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN CONTOH PT. A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam 5 tahun berikutnya rugi-laba fiskal PT. A sbb : 1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00 1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00) 1998 : laba fiskal NIHIL 1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00 2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00 Kompensasi kerugian dilakukan sbb : Rugi fiskal Thn 1995 (Rp 1.200.000.000,00) Laba fiskal Thn 1996 Rp 200.000.000,00(+) Sisa rugi fiskal Thn 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Rugi fiskal Thn 1997 (Rp 300.000.000,00) Sisa rugi fiskal Thn 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal Thn 1998 N I H I L (+) Sisa rugi fiskal Thn 1995 (Rp 1.000.000.000,00) Laba fiskal Thn 1999 Rp 100.000.000,00(+) Sisa rugi fiskal Thn 1995 (Rp 900.000.000,00) Laba fiskal Thn 2000 Rp 800.000.000,00 Sisa rugi fiskal Thn 1995 (Rp 100.000.000,00) TIDAK BOLEH DIKOMPENSASIKAN LAGI DENGAN LABA FISKAL THN 2001 HANYA BOLEH DIKOMPENSASIKAN DGN LABA FISKAL THN 2001 & 2002 (KOMPENSASI DIMULAI SJK THN 1998) 36
- 37. BESARNYA PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) Rp 15.840.000 UNTUK DIRI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI TAMBAHAN UNTUK WAJIB Rp 1.320.000 PAJAK KAWIN TAMBAHAN UNTUK SEORANG Rp 15.840.000 ISTERI YG PENGHASILANNYA DIGABUNG DENGAN PENGHASILAN SUAMI TAMBAHAN UNTUK SETIAP Rp 1.320.000 ANGGOTA KELUARGA SEDARAH SEMENDA DALAM GARIS KETURUNAN LURUS SERTA ANAK ANGKAT YG MENJADI TANGGUNGAN SEPENUHNYA MAKSIMAL 3 ORANG PENERAPAN PTKP DITENTUKAN OLEH KEADAAN PADA AWAL TAHUN PAJAK ATAU AWAL BAGIAN TAHUN PAJAK 37
- 38. CONTOH PENERAPAN PTKP WP “A” SEORANG PEGAWAI MEMPUNYAI SEORANG ISTRI DAN 4 ANAK. BILA ISTRI MENERIMA/MEMPEROLEH PENGHASILAN YG SUDAH DIPOTONG PPh PSL 21 DAN PEKERJAANNYA TSB TDK ADA HUBUNGANNYA DGN PEKERJAAN/USAHA SUAMI/ANGGOTA KELUARGA LAINNYA. BESARNYA PTKP YG DIBERIKAN : - WP SENDIRI Rp 15.840.000 - STATUS KAWIN Rp 1.320.000 - ANAK (3 x Rp 1.320.000) Rp 3.960.000 JUMLAH PTKP Rp 21.120.000 UTK ISTRI SDH DIBERIKAN PTKP, SAAT PEMOTONGAN PPh 21 OLEH PEMBERI KERJA SEBESAR Rp 15.840.000,- BILA PENGHASILAN ISTRI “A” TSB TIDAK SEMATA-MATA DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YG TELAH DIPOTONG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 21, DAN PEKERJAAN TSB ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA ATAU PEKERJAAN BEBAS SUAMI ATAU ANGGOTA KELUARGA LAINNYA, MAKA PENGHASILAN ISTRI “A” DIGABUNG DGN PENGHASILAN “A” BESARNYA PTKP YANG DIBERIKAN : - WP SENDIRI Rp 15.840.000 - STATUS KAWIN Rp 1.320.000 - ISTRI BERUSAHA Rp 15.840.000 - ANAK (3 x Rp 1.320.000) Rp 3.960.000 JUMLAH PTKP Rp 36.960.000 38
- 39. PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA KAWIN Pasal 8 ayat (1) PENGHASILAN ATAU KERUGIAN BAGI WANITA YANG TELAH KAWIN DIANGGAP SEBAGAI PENGHASILAN ATAU KERUGIAN SUAMINYA KECUALI 1. PENGHASILAN TSB SEMATA-MATA DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YG TELAH DIPOTONG PPh PASAL 21, DAN 2. PEKERJAAN TSB TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN USAHA ATAU PEKERJAAN BEBAS SUAMI ATAU ANGGOTA KELUARGA LAINNYA 39
- 40. CONTOH Pasal 8 ayat (1) WP ‘A” MEMPEROLEH PENGHASILAN Rp 100.000.000,00 MEMPUNYAI ISTRI SBG PEGAWAI DGN PENGHASILAN SEBESAR Rp 50.000.000,00 TDK DIGABUNG DGN PENGHASILAN ‘A’ DAN SUDAH FINAL JIKA : -. PENGH. TSB DIPEROLEH DARI SATU PEMBERI KERJA YANG TELAH DIPOTONG PPh 21 -. PEKERJAAN TSB TDK ADA HUB. NYA DGN USAHA/ PEKERJAAN BEBAS SUAMI/ANGGOTA KELUARGA LAINNYA. BILA ISTRI “A” SELAIN MENJADI PEGAWAI JUGA MEMPUNYAI USAHA SALON KECANTIKAN DGN PENGHASILAN SEBESAR Rp 75.000.000,00; SELURUH PENGH. ISTRI SEBESAR Rp 125.000.000 (50 JUTA + 75 JUTA) DIGABUNGKAN DGN PENGH. “A”. DGN DEMIKIAN TOTAL PENGHASILAN “A” YG DIKENAKAN PPh SEBESAR Rp 225.000.000,00. POTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN ISTRI TIDAK BERSIFAT FINAL DAN DPT DIKREDITKAN DLM SPT TAHUNAN PPh 40
- 41. SUAMI-ISTRI DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH Pasal 8 ayat (2) dan (3) MENGADAKAN ISTRI MEMILIH PERJANJIAN UNTUK PEMISAHAN MENJALAN HIDUP BERPISAH HARTA DAN KAN HAK DAN PENGHASILAN KEWAJIBAN SECARA PERPAJAKAN TERTULIS NYA SENDIRI PENGHITUNGAN PKP PENGHITUNGAN DAN PENGENAAN PAJAKNYA BERDASAR PAJAKNYA - Penghasilan Neto suami isteri DILAKUKAN digabung SENDIRI-SENDIRI - Besarnya pajak yg harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri, sebanding dgn Penghasilan Neto 41
- 42. CONTOH PENGHITUNGAN PPh BAGI SUAMI-ISTRI YG MENGADAKAN PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA DAN PENGHASILANSECARA TERTULIS Pasal 8 ayat (3) CONTOH : 1. PENGHASILAN SUAMI (A) DARI PEGAWAI Rp 100.000.000,00 2. PENGHASILAN ISTRI DARI PEGAWAI DAN SALON Rp 125.000.000,00 JML PENGHASILAN Rp 225.000.000,00 PTKP (K/3) Rp 11.520.000,00 PKP Rp 213.480.000,00 PPh TERUTANG Rp 40.968.000,00 PENGENAAN PPh MASING-MASING SUAMI-ISTERI DIHITUNG SBB : PPh SUAMI : Rp 100.000.000,00 X Rp 40.968.000,00 = Rp 18.207.999,00 Rp 225.000.000,00 PPh ISTERI : Rp 125.000.000,00 X Rp 40.968.000,00 = Rp 22.760.001,00 Rp 225.000.000,00 42
- 43. PENGHASILAN ANAK YANG BELUM DEWASA Pasal 8 ayat (4) DIGABUNG DENGAN PENGHASILAN ORANG TUANYA Yang dim aksud dengan “ anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berum ur 18 ( delapan belas) t ahun dan belum pernah m enikah 43
- 44. PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1) PEMBAGIAN LABA DENGAN NAMA DAN DALAM BENTUK APAPUN BIAYA YG DIBEBANKAN UTK KEPENTINGAN PRIBADI PEMEGANG SAHAM, SEKUTU, ATAU ANGGOTA PEMBENTUKAN DANA CADANGAN KECUALI CADANGAN UNTUK JENIS USAHA TERTENTU YANG KETENTUAN DAN SYARATNYA DIATUR PERMENKEU (81/PMK.03/2009) PREMI ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWI GUNA, DAN ASURANSI BEA SISWA YG DIBAYAR OLEH WP ORANG PRIBADI PENGGANTIAN/ IMBALAN PEKERJAAN/JASA YG DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN KECUALI -PENYEDIAAN MAKANAN DAN MINUMAN BAGI SELURUH PEGAWAI -DI DAERAH TERTENTU DAN YANG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN PEKERJAAN YANG DIATUR DG ATAU BERDASARKAN PERMENKEU (83/PMK.03/2009) 44
- 45. PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1) JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YG DIBAYARKAN KEPADA PEMEGANG SAHAM ATAU PIHAK YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN, DAN WARISAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 4 AYAT (3) HURUF A DAN HURUF B, KECUALI SUMBANGAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 6 AYAT (1) HURUF I, HURUF J, HURUF K, HURUF L, DAN HURUF M SERTA ZAKAT DAN SUMBANGAN KEGAMAAN YANG KETENTUANNYA DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH PAJAK PENGHASILAN BIAYA YANG DIBEBANKAN/ DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WP ATAU ORANG YANG MENJADI TANGGUNGAN GAJI ANGGOTA PERSEKUTUAN, FIRMA, ATAU PERSEROAN KOMANDITER YG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SAHAM SANKSI ADMINISTRASI DAN PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN 45
- 46. PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO Pasal 9 ayat (1) huruf f PEMBAYARAN YANG JUMLAHNYA MELEBIHI KEWAJARAN KPD PEMEGANG SAHAM ATAU PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA SEBAGAI IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN CONTOH : WP. A TENAGA AHLI DAN PEMEGANG SAHAM DARI PT. “B”. IMBALAN DARI PT. “B” YG DITERIMA “A” SEBESAR Rp 5.000.000,00. APABILA UNTUK JASA YG SAMA YG DIBERIKAN OLEH TENAGA AHLI LAIN YG SETARA HANYA DIBAYAR SEBESAR Rp 2.000.000,00, MAKA : - JUMLAH Rp 3.000.000,00 TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SBG BIAYA OLEH PT. “B” - BAGI TENAGA AHLI YG JUGA SEBAGAI PEMEGANG SAHAM, JUMLAH Rp 3.000.000,00, DIANGGAP SBG PEMBERIAN DIVIDEN DARI PT.“B” 46
- 47. PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEKALIGUS Pasal 9 ayat (2) PENGELUARAN UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH, DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG MEMPUNYAI MASA MANFAAT LEBIH DARI SATU TAHUN DIBEBANKAN MELALUI PENYUSUTAN ATAU AMORTISASI 47
- 48. PENENTUAN HARGA PEROLEHAN/ PENJUALAN ATAU NILAI PEROLEHAN/ PENJUALAN Pasal 10 ayat (1), (2), (3) dan (6) TIDAK DIPENGARUHI JML YANG SESUNGGUHNYA HUB. ISTIMEWA DIKELUARKAN/DITERIMA DIPENGARUHI JML YANG SEHARUSNYA HUB. ISTIMEWA DIKELUARKAN/DITERIMA JML YANG SEHARUSNYA DALAM HAL DIKELUARKAN/DITERIMA TUKAR-MENUKAR HARTA BERDSRKAN HARGA PASAR DALAM RANGKA : - Likuidasi JML YANG SEHARUSNYA - Penggabungan DIKELUARKAN/DITERIMA - Peleburan BERDASARKAN HARGA PASAR - Pemekaran KECUALI - Pemecahan DITETAPKAN LAIN -Pengambilalihan OLEH MENKEU USAHA BERDSRKAN HARGA PEROLEHAN PERSEDIAAN DAN YANG DILAKUKAN PEMAKAIAN PERSEDIAAN SECARA RATA-RATA UNTUK PENGHITUNGAN ATAU DGN CARA HARGA POKOK MENDAHULUKAN PERSEDIAAN YG DIPEROLEH PERTAMA 48
- 49. PENENTUAN HARGA PEROLEHAN/ PENJUALAN ATAU NILAI PEROLEHAN/ PENJUALAN Pasal 10 ayat (4) dan (5) DASAR PENILAIAN BAGI YANG MENERIMA PENGALIHAN HARTA HIBAHAN, SAMA DENGAN BANTUAN ATAU SUMBANGAN, NILAI SISA BUKU DAN WARISAN YG MEMENUHI YANG MELAKUKAN PERSYARATAN PENGALIHAN PASAL 4 AYAT (3) ATAU HURUF a DAN b NILAI YANG DITETAPKAN DIRJEN PAJAK PENGALIHAN HARTA YANG DASAR PENILAIAN BAGI YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT MENERIMA SAMA DENGAN PASAL 4 AYAT (3) NILAI PASAR HURUF a PENGALIHAN HARTA SBG DASAR PENILAIAN BAGI YANG PENGGANTI SAHAM ATAU MENERIMA SAMA DENGAN PENGGANTI PENYERTAAN NILAI PASAR MODAL 49
- 50. CONTOH Pasal 10 ayat (2) KETERANGAN PT. A PT. B (HARTA X) (HARTA Y) NILAI SISA BUKU Rp 10.000.000,00 Rp 12.000.000,00 HARGA PASAR Rp 20.000.000,00 Rp 20.000.000,00 - ANTARA PT. A DAN PT. B TERJADI PERTUKARAN HARTA - TIDAK TERDAPAT REALISASI PEMBAYARAN - HARGA PASAR HARTA SEBESAR Rp 20.000.000,00 MERUPAKAN : NILAI PEROLEHAN YANG SEHARUSNYA DIKELUARKAN ATAU NILAI PENJUALAN YANG SEHARUSNYA DITERIMA - SELISIH ANTARA HARGA PASAR DENGAN NILAI SISA BUKU HARTA MERUPAKAN KEUNTUNGAN YANG DIKENAKAN PAJAK - KEUNTUNGAN PT. A = Rp 20.000.000,00 - Rp 10.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 - KEUNTUNGAN PT. B = Rp 20.000.000,00 - Rp 12.000.000,00 = Rp 8.000.000,00 50
- 51. CONTOH Pasal 10 ayat (3) - PT. A DAN PT. B MELAKUKAN PELEBURAN DAN MEMBENTUK BADAN BARU YAITU PT. C. - NILAI SISA BUKU DAN HARGA PASAR HARTA KEDUA BADAN TERSEBUT ADALAH SBB : KETERANGAN PT. A PT. B NILAI SISA BUKU Rp 200.000.000,00 Rp 300.000.000,00 HARGA PASAR Rp 300.000.000,00 Rp 450.000.000,00 PADA DASARNYA PENILAIAN HARTA YG DISERAHKAN OLEH PT. A DAN PT. B DLM RANGKA PELEBURAN MENJADI PT. C ADALAH HARGA PASAR. KEUNTUNGAN PT. A Rp 300.000.000,00 - Rp 200.000.000,00 =Rp 100.000.000,00 KEUNTUNGAN PT. B Rp 450.000.000,00 - Rp 300.000.000,00 =Rp 150.000.000,00 PT. C MEMBUKUKAN SEMUA HARTA TSB SEBESAR Rp 750.000.000 (Rp 300.000.000,00+ Rp 450.000.000,00). NAMUN DLM RANGKA MENYELARASKAN DGN KEBIJAKAN DI BIDANG SOSIAL, EKONOMI, INVESTASI, DAN MONETER, MENKEU DIBERI WEWENANG UNTUK MENETAPKAN NILAI LAIN SELAIN HARGA PASAR, MISALNYA ATAS DASAR NILAI SISA BUKU (POOLING OF INTEREST). DALAM HAL DEMIKIAN, PT. C MEMBUKUKAN PENERIMAAN HARTA DARI PT.A DAN PT. B SEBESAR : (Rp 200.000.000,00 + Rp 300.000.000,00) = Rp 500.000.000 51
- 52. CONTOH Pasal 10 ayat (5) CONTOH : WP “X” MENYERAHKAN 20 UNIT MESIN BUBUT YANG NILAI BUKUNYA Rp 25.000.000,00 KPD PT. “Y” SBG PENGGANTI PENYERTAAN SAHAMNYA DENGAN NILAI NOMINAL Rp 20.000.000,00. HARGA PASAR MESIN BUBUT TSB Rp 40.000.000,00. PT.“Y” MENCATAT MESIN BUBUT SBG AKTIVA SEBESAR Rp 40.000.000,00 BUKAN SEBAGAI PENGHASILAN. SELISIH ANTARA NILAI NOMINAL SAHAM DENGAN NILAI PASAR HARTA DIBUKUKAN SBG “AGIO”. * BESARNYA AGIO = (Rp 40.000.000,00 - Rp 20.000.000,00) =Rp 20.000.000,00 * BAGI WP “X”, KEUNTUNGAN YG DIPEROLEH DARI PENYERTAAN ADALAH OBJEK PAJAK, YAITU : (Rp 40.000.000,00 - Rp 25.000.000,00) = Rp 15.000.000,00 52
- 53. PENYUSUTAN Pasal 11 ayat (1),(2) dan (7) HARTA BERWUJUD SELAIN BIDANG USAHA BANGUNAN BANGUNAN TERTENTU METODE SALDO DIATUR MENURUN PERATURAN METODE PADA AKHIR MENTERI GARIS LURUS MASA MANFAAT KEUANGAN DISUSUTKAN (249/PMK.03/2 SEKALIGUS 008) (CLOSED ENDED) KECUALI : TANAH YANG BERSTATUS HAK MILIK, HGU DAN HGB DAN HAK PAKAI 53
- 54. SAAT MULAI PENYUSUTAN Pasal 11 ayat (3),(4) dan (5) PADA BULAN PENGELUARAN PADA BULAN HARTA MULAI DIGUNAKAN/ KECUALI : MENGHASILKAN HARTA YG MASIH DLM PROSES PENGERJAAN, DENGAN PADA BULAN SELESAINYA PERSETUJUAN PENGERJAAN DIRJEN PAJAK DASAR PENYUSUTAN BAGI WP YG MELAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA SESUAI PASAL 19 NILAI SETELAH DILAKUKAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA 54
- 55. MASA MANFAAT DAN TARIF PENYUSUTAN Pasal 11 ayat (6) dan (7) KEL. HARTA MASA TARIF PENYUSUTAN BERWUJUD MAN- GARIS LURUS SALDO MENURUN FAAT 1. BUKAN BANGUNAN - KELOMPOK 1 4 THN 25 % 50 % - KELOMPOK 2 8 THN 12,5 % 25 % - KELOMPOK 3 16 THN 6,25 % 12,5 % - KELOMPOK 4 20 THN 5 % 10 % 2. BANGUNAN PERMANEN 20 THN 5 % TDK PERMANEN 10 THN 10 % Pasal 11 ayat (11) PENENTUAN KELOMPOK HARTA BERWUJUD BUKAN BANGUNAN DIATUR DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN 55
- 56. PENGALIHAN HARTA BERWUJUD Pasal 11 ayat (8) dan (9) PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA SESUAI PSL 4 Ayat (1) Huruf d ATAU PENARIKAN HARTA KARENA SEBAB LAINNYA JUMLAH HARGA JUAL JUMLAH ATAU NILAI SISA BUKU PENGGANTIAN DIBEBANKAN ASURANSI SEBAGAI DIBUKUKAN KERUGIAN SEBAGAI PENGHASILAN PADA TAHUN TERJADINYA PENGALIHAN ATAU PENARIKAN HARTA KERUGIAN SEBESAR NILAI SISA BUKU HARTA KARENA PENGGANTIAN ASURANSI YG JUMLAHNYA BARU DAPAT DIKETAHUI DI MASA KEMUDIAN DIBUKUKAN SBG BEBAN MASA KEMUDIAN DENGAN PERSETUJUAN DIRJEN PAJAK 56
- 57. PENGALIHAN HARTA BERWUJUD Pasal 11 ayat (10) SEBAGAI BANTUAN ATAU SUMBANGAN; HARTA HIBAHAN ATAU WARISAN YG MEMENUHI SYARAT PASAL 4 Ayat (3) Huruf a dan b JUMLAH NILAI SISA BUKU TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN BAGI PIHAK YG MENGALIHKAN 57
- 58. AMORTISASI Pasal 11A ayat (1) dan (1A) METODE METODE SALDO GARIS LURUS MENURUN PADA AKHIR MASA MANFAAT DIAMORTISASI SEKALIGUS (CLOSED ENDED) AMORTISASI DIMULAI PADA BULAN DILAKUKANNYA PENGELUARAN, KECUALI UNTUK BI DANG USAHA TERTENTU YANG DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN (248/PMK.03/2008) 58
- 59. MASA MANFAAT DAN TARIF AMORTISASI Pasal 11A ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) KELOMPOK MASA TARIF AMORTISASI HARTA TAK MAN- BERWUJUD FAAT GARIS LURUS SALDO MENURUN - KELOMPOK 1 4 THN 25 % 50 % - KELOMPOK 2 8 THN 12,5 % 25 % - KELOMPOK 3 16 THN 6,25 % 12,5 % - KELOMPOK 4 20 THN 5 % 10 % TARIF BERDASARKAN 1. BIAYA PENDIRIAN KELOMPOK HARTA ATAU 2. BIAYA PERLUASAN MODAL DIBEBANKAN SEKALIGUS PADA TAHUN TERJADINYA PENGELUARAN PENGELUARAN UNTUK METODE SATUAN MEMPEROLEH HAK PRODUKSI PENAMBANGAN MIGAS 1. HAK PENAMBANGAN SELAIN MIGAS METODE 2. HAK PENGUSAHAAN HUTAN SATUAN PRODUKSI 3. HAK PENGUSAHAAN SUMBER SETINGGI-TINGGINYA DAN HASIL ALAM LAINNYA 20 % SETAHUN PENGELUARAN SEBELUM DIKAPITALISASIKAN DAN OPERASI KOMERSIL YANG DIAMORTISASIKAN DG MASA MANFAAT > 1 TAHUN TARIF BERDASARKAN KELOMPOK HARTA 59
- 60. PENGALIHAN HARTA TAK BERWUJUD/HAK Pasal 11A ayat (7) dan (8) NILAI SISA BUKU JUMLAH HARTA ATAU HAK PENGGANTIAN DIBEBANKAN DIBUKUKAN SEBAGAI SEBAGAI KERUGIAN PENGHASILAN PADA TAHUN TERJADINYA PENGALIHAN SEBAGAI BANTUAN ATAU SUMBANGAN; HARTA HIBAHAN ATAU WARISAN YG MEMENUHI SYARAT PASAL 4 Ayat (3) Huruf a dan b JUMLAH NILAI SISA BUKU TIDAK BOLEH DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN BAGI PIHAK YANG MENGALIHKAN 60
- 61. CONTOH Pasal 11A ayat (5) PENGELUARAN UNTUK MEMPEROLEH : - HAK PENAMBANGAN SELAIN MINYAK DAN GAS BUMI - HAK PENGUSAHAAN HUTAN ATAU HASIL ALAM LAINNYA - HAK PENGUSAHAAN HASIL LAUT CONTOH : - PENGELUARAN UNTUK HAK PENGUSAHAAN HUTAN Rp 500.000.000,00. - POTENSI HAK PENGUSAHAAN HUTAN 10.000.000 TON KAYU - JML YG DIAMORTISASI DGN PERSENTASE SATUAN PRODUKSI YG DIREALISASIKAN DALAM TAHUN YBS Rp 500.000.000,00 - JIKA DALAM SATU THN PAJAK JML PRODUKSI 3.000.000 TON KAYU YG BERARTI 30 % DARI POTENSI YG ADA, - AMORTISASI YG DIPERKENANKAN UTK DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO PD TAHUN TSB SEBESAR 20 % (JUMLAH MAKSIMUM) DARI PENGELUARAN ATAU Rp 100.000.000,00 61
- 62. CONTOH Pasal 11A ayat (7) - PENGELUARAN BIAYA UTK MEMPEROLEH HAK PENAMBANGAN MIGAS OLEH PT. X = Rp 500.000.000,00 - TAKSIRAN KANDUNGAN MINYAK 200.000.000 BAREL - SETELAH PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI MENCAPAI 100.000.000 BAREL, PT.X MENJUAL HAKNYA KEPADA PT.Y DENGAN HARGA Rp 300.000.000,00 - PENGHITUNGAN PENGHASILAN DAN KERUGIAN DARI PENJUALAN HAK TERSEBUT SEBAGAI BERIKUT : - HARGA PEROLEHAN Rp 500.000.000,00 - AMORTISASI YG TELAH DILAKUKAN 100.000.000 BAREL =(50%) Rp 250.000.000,00 200.000.000 - NILAI BUKU HARTA Rp 250.000.000,00 - HARGA JUAL HARTA Rp 300.000.000,00 PEMBUKUAN : - JUMLAH NILAI BUKU HARTA Rp 250.000.000,00 DIBEBANKAN SEBAGAI KERUGIAN - JUMLAH SEBESAR Rp 300.000.000,00 DIBUKUKAN SEBAGAI PENGHASILAN 62
- 63. PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk MENENTUKAN PENGHASILAN NETO DIBUAT DAN DISEMPURNAKAN TERUS-MENERUS SERTA DITERBITKAN OLEH DIRJEN PAJAK 63
- 64. PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (2), (3) dan (4) Norma Penghitungan Penghasilan Neto HANYA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI SYARAT * Peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 * Memberitahukan kepada Dirjen Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari Tahun Pa- jak Ybs. Apabila tidak memberitahukan, di- anggap memilih Pembukuan * Wajib menyelenggarakan Pencatatan 64
- 65. PENGGUNAAN NORMA PENGHITUNGAN Pasal 14 ayat (5) WAJIB PAJAK WAJIB DIANGGAP PEMBUKUAN MENYELENGGARAKAN INGIN TAPI PEMBUKUAN , MENGGUNAKAN TDK BERSEDIA TAPI TIDAK NPPN, MEMPERLIHATKAN ATAU TETAPI TIDAK PEMBUKUAN TIDAK SEPENUHNYA MELAKSANAKAN /PENCATATAN MELAKSANAKAN PENCATATAN PEMBUKUAN PENGHASILAN NETO DIHITUNG MENGGUNAKAN NPPN DAN PEREDARAN BRUTONYA DIHITUNG DENGAN CARA LAIN YANG DIATUR DG PERATURAN MENKEU 65
- 66. NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS Pasal 15 UNTUK MENGHITUNG PENGHASILAN NETO DARI WAJIB PAJAK TERTENTU DITETAPKAN MENTERI KEUANGAN 66
- 67. KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS 1. PERUSAHAAN PELAYARAN ATAU PENERBANGAN DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI - KMK 416/KMK.04/96 - KMK 475/KMK.04/96 - KMK 417/KMK.04/96 2. WP LUAR NEGERI YANG MEMPUNYAI KANTOR PERWAKILAN DAGANG DI INDONESIA (KMK 634/KMK.04/94) 3. PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN INVESTASI DALAM BENTUK BANGUN GUNA SERAH (BOT) (KMK 248/KMK.04/95) 4. WP yg melakukan kerjasama dgn PT Telkom berdasarkan sistem PBH tahap II selanjutnya (KMK No.88/KMK.04/1994 jo Kepdirjen Pajak No.155/PJ./2000 67
- 68. PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) Pasal 16 ayat (1), (2), (3) dan (4) PENGHASILAN DIKURANGI PKP BAGI DENGAN BIAYA YANG WAJIB PAJAK DIPERKENANKAN, DALAM NEGERI KOMPENSASI KERUGIAN, UNTUK WP ORANG PRIBADI DIKURANGI DGN PTKP, PKP BAGI DIHITUNG DENGAN NORMA WAJIB PAJAK YG PENGHITUNGAN DAN DIHITUNG DGN UNTUK WP ORANG PRIBADI NORMA DIKURANGI PTKP PENGHASILAN DIKURANGI PKP BAGI DGN BIAYA YG WP BUT DIPERKENANKAN , KOMPENSASI KERUGIAN PKP BAGI WP ORANG PRIBADI D.N YG KEWAJIBAN DIHITUNG PAJAK SUBJEKTIF SESUAI PENGHASILAN NETO NYA < 1 TAHUN YG DALAM BAGIAN TAHUN PAJAK TERUTANG PAJAK YANG DISETAHUNKAN DLM BAG.THN PAJAK 68
- 69. CONTOH PENGHITUNGAN PKP BAGI WP DALAM NEGERI YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEREDARAN BRUTO Rp 300.000.000 BIAYA (3M) PENGHASILAN Rp 255.000.000 LABA USAHA/PENGH. NETO USAHA Rp 45.000.000 PENGH. LAINNYA Rp 5.000.000 BIAYA (3M) PENGH. LAINNYA Rp 3.000.000 LABA USAHA DARI PENGH. LAINNYA Rp 2.000.000 JML SELURUH PENGH. NETO Rp 47.000.000 KOMPENSASI KERUGIAN (Rp 2.000.000) PKP BAGI WP BADAN Rp 45.000.000 * PENGURANGAN (PTKP) BAGI WP ORG. PRIBADI (K/3) (Rp 8.640.000) PKP BAGI WP ORG. PRIBADI Rp 36.360.000 69
- 70. CONTOH PENGHITUNGAN PKP BAGI WP BENTUK USAHA TETAP (BUT) - PEREDARAN BRUTO Rp 400.000.000,00 - BIAYA 3M PENGHASILAN (Rp 275.000.000,00) PENGHASILAN USAHA Rp 125.000.000,00 - PENGHASILAN BUNGA Rp 5.000.000,00 - PENJUALAN LANGSUNG BARANG OLEH KANTOR PUSAT YG SEJENIS DGN YG DIJUAL BUT Rp 200.000.000,00 - PENGHASILAN LAINNYA Rp 205.000.000,00 - BIAYA 3M PENGHASILAN (Rp 150.000.000,00) PENGHASILAN DARI LUAR USAHA Rp 55.000.000,00 PENGHASILAN NETO USAHA DAN LUAR USAHA Rp 180.000.000,00 DIVIDEN YG DITERIMA KANTOR PUSAT YG MPY HUB. EFEKTIF DGN BUT Rp 2.000.000,00 JML PENGHASILAN NETO Rp 182.000.000,00 BIAYA MENURUT PSL 5 AYAT (3) (Rp 7.000.000,00) PENGHASILAN KENA PAJAK Rp 175.000.000,00 70
- 71. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat 1 (a), (2), (3) dan (7) TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DN LAPISAN PKP TARIF PAJAK - S/D Rp 50.000.000,00 5% - DI ATAS Rp 50.000.000,00 15 % S/D Rp 250.000.000,00 - DI ATAS Rp 250.000.000,00 25 % S/D Rp 500.000.000 - DI ATAS Rp 500.000.000 30% LAPISAN PKP DAPAT DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENKEU DENGAN PP DAPAT DITETAPKAN : • Tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% •Tarif pajak tersendiri atas penghasilan tertentu , sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi 71
- 72. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat 1 (b), (2a), (3) dan (7) TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK BADAN DN DAN BUT TARI F TUNGGAL 28% MULAI TAHUN 2010 : 25% LAPISAN PKP DAPAT DIUBAH DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH DAPAT DITETAPKAN : • Tarif pajak tersendiri atas penghasilan tertentu , sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi 72
- 73. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (2b) TARIF PAJAK PENGHASILAN BAGI WP BADAN DN PERSEROAN TERBUKA TARI F 5% LEBI H RENDAH SYARAT : PALI N G SED I KI T 4 0 % D ARI JUM LAH KESELURUH AN SAH AM YAN G D I SETOR D I PERD AGAN GKAN D I BURSA EFEK D I INDONESIA DAN PERSYARATAN TERTENTU LAINNYA DI ATUR DENGAN PERATURAN PEMERI NTAH 73
- 74. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (2c) dan (2d) TARIF PAJAK PENGHASILAN ATAS DIVIDEN YG DITERIMA WP OP DN TARI F PALI NG TI NGGI 10% SIFAT FINAL KETENTUAN LEBIH LANJUT DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH PP NOMOR 19/2009 74
- 75. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (4) UNTUK KEPERLUAN PENERAPAN TARIF PAJAK JUMLAH PKP DIBULATKAN KE BAWAH DALAM RIBUAN RUPIAH PENUH 75
- 76. TARIF PAJAK PENGHASILAN Pasal 17 ayat (5) dan (6) BESARNYA PAJAK YANG TERUTANG BAGI WP ORANG PRIBADI D.N YANG KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIFNYA < 1 TAHUN YG TERUTANG PAJAK DLM BAGIAN TAHUN PAJAK DIHITUNG JUMLAH HARI X PAJAK TERUTANG UTK 1TAHUN PAJAK 360 JUMLAH PKP DIBULATKAN KE BAWAH DALAM RIBUAN RUPIAH PENUH 76
- 77. CONTOH PENERAPAN TARIF PPh BAGI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DN JUMLAH PKP Rp 600.000.000,00 PPh TERUTANG : 5% X Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000 15% X Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000 25% X Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000 30% X Rp 100.000.000 = Rp 30.000.000 Rp 125.000.000,00 77
- 78. CONTOH PENERAPAN TARIF PPh BAGI WP BADAN DN DAN BUT JUMLAH PKP Rp 1.250.000.000 PPh TERUTANG : 28% X Rp 1.250.000.000 = Rp 330.000.000,00 78
- 79. PERBANDINGAN UTANG DAN MODAL DAN SAAT DIPEROLEHNYA DIVIDEN Pasal 18 ayat (1) dan (2) MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN SAAT DIPEROLEHNYA BESARNYA DIVIDEN OLEH WPDN ATAS PERBANDINGAN PENYERTAAN MODAL ANTARA PADA BADAN USAHA DI UTANG DAN MODAL LUAR NEGERI SELAIN UNTUK KEPERLUAN BADAN USAHA YANG PENGHITUNGAN PAJAK MENJUAL SAHAMNYA DI BURSA EFEK SYARAT a. BESARNYA PENYERTAAN MODAL WP DN PALING RENDAH 50 % DARI JUMLAH SAHAM YANG 256/ PMK.03/ 2008 DISETOR; atau b. SECARA BERSAMA-SAMA DENGAN WP DN LAINNYA MEMILIKI PENYERTAAN MODAL PALING RENDAH 50 % ATAU LEBIH DARI JUMLAH SAHAM YANG DISETOR 79
- 80. PENGHITUNGAN PKP BAGI WP YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3) DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG - MENENTUKAN KEMBALI BESARNYA PENGHASILAN DAN PENGURANGAN; - MENENTUKAN UTANG SEBAGAI MODAL UNTUK MENGHITUNG BESARNYA PKP BAGI WP YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA METODE : • Com pa r a ble Un con t r olle d Pr ice M e t h od • Resale Price Method • Cost Plus Method • Metode Lainnya 80
- 81. PENGHITUNGAN PKP BAGI WP YG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3a) DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG MELAKUKAN PERJANJIAN DENGAN WAJIB PAJAK DAN BEKERJASAMA DENGAN PIHAK OTORITAS PAJAK NEGARA LAIN UNTUK MENENTUKAN HARGA TRANKSASI ANTAR PIHAK-PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM AYAT (4) BERLAKU SELAMA SUATU PERIODE TERTENTU DAN MENGAWASI PELAKSANAANNYA SERTA MELAKUKAN RENEGOSIASI SETELAH PERIODE TERTENTU TERSEBUT BERAKHIR 81
- 82. HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3b) dan (3e) SPECIAL PURPOSE COMPANY (SPC) WAJIB PAJAK YANG MELAKUKAN PEMBELIAN SAHAM ATAU AKTIVA PERUSAHAAN MELALUI PIHAK LAIN ATAU BADAN YANG DIBENTUK UNTUK MAKSUD DEMIKIAN (SPECIAL PURPOSE COMPANY), DAPAT DITETAPKAN SEBAGAI PIHAK YANG SEBENARNYA MELAKUKAN PEMBELIAN TERSEBUT SEPANJANG WAJI B PAJAK YANG BERSANGKUTAN MEMPUNYAI HUBUNGAN I STI MEWA DENGAN PI HAK LAIN ATAU BADAN TERSEBUT DAN TERDAPAT KETIDAKWAJARAN PENETAPAN HARGA. DI ATUR LEBI H LANJUT DENGAN PERATURAN MENKEU 82
- 83. HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3c) dan (3e) CONDUIT COMPANY PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM PERUSAHAAN ANTARA (CONDUIT COMPANY ATAU SPECI AL PURPOSE COMPANY) YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI NEGARA YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN PAJAK (TAX HAVEN COUNTRY) YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN I STI MEWA DENGAN BADAN YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI I NDONESI A ATAU BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA DAPAT DITETAPKAN SEBAGAI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN SAHAM BADAN YANG DIDIRIKAN ATAU BERTEMPAT KEDUDUKAN DI I NDONESI A ATAU BENTUK USAHA TETAP DI INDONESIA. DI ATUR LEBI H LANJUT DENGAN PERATURAN MENKEU 83
- 84. HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (3d) dan (3e) BESARNYA PENGHASILAN YANG D I PEROLEH W AJI B PAJAK ORAN G PRIBADI DALAM NEGERI DARI PEM BERI KERJA YAN G M EM I LI KI H UBUN GAN I STI M EW A D EN GAN PERUSAH AAN LAI N YAN G TI D AK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA DAPAT DITENTUKAN KEMBALI, DALAM HAL PEM BERI KERJA M EN GALI H KAN SELURUH ATAU SEBAGIAN PEN GH ASI LAN W AJI B PAJAK ORAN G PRI BAD I D ALAM N EGERI TERSEBUT KE DALAM BENTUK BIAYA ATAU PENGELUARAN LAINNYA YANG D I BAYARKAN KEPAD A PERUSAH AAN YANG TIDAK DIDIRIKAN DAN TIDAK BERTEMPAT KEDUDUKAN DI INDONESIA TERSEBUT. DI ATUR LEBI H LANJUT DENGAN PERATURAN MENKEU 84
- 85. HUBUNGAN ISTIMEWA Pasal 18 ayat (4) HUBUNGAN ISTIMEWA DIANGGAP ADA APABILA : • WP mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25 % pada WP lainnya; atau • Hubungan antara WP dengan penyertaan paling rendah 25 % pada dua WP atau lebih; atau • Hubungan antara dua WP atau lebih yang disebut terakhir; WP YANG MENGUASAI WP LAINNYA, DUA ATAU LEBIH BAIK LANGSUNG MAUPUN TIDAK LANGSUNG ADA HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH MAUPUN SEMENDA DALAM GARIS KETURUNAN LURUS DAN/ATAU KE SAMPING SATU DERAJAT 85
- 86. PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP Pasal 19 ayat (1) dan (2) MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN PERATURAN PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP DAN FAKTOR PENYESUAIAN APABILA TERJADI KETIDAKSESUAIAN ANTARA UNSUR-UNSUR BIAYA DENGAN PENGHASILAN KARENA PERKEMBANGAN HARGA SELISIH PENILAIAN KEMBALI DIKENAKAN TARIF PAJAK TERSENDIRI DG PERMENKEU SEPANJANG TIDAK MELEBIHI TARIF PAJAK TERTINGGI PASAL 17 UU PPh PERATURAN MENKEU NO. 79/PMK.03/2008 86
- 87. PELUNASAN PPh DALAM TAHUN BERJALAN Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) - PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK OLEH PIHAK LAIN (PPh Psl 21,22,23,24) - PEMBAYARAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI (PPh Pasal 25) MERUPAKAN ANGSURAN PAJAK YANG BOLEH - DILAKUKAN SETIAP DIKREDITKAN BULAN, ATAU TERHADAP PPh YANG TERUTANG - MASA LAIN YANG UNTUK TAHUN DITETAPKAN OLEH PAJAK YBS MENTERI KECUALI KEUANGAN PEMBAYARAN PPh YANG BERSIFAT FINAL 87
- 88. KEWAJIBAN PEMOTONG PPh PASAL 21 Pasal 21 ayat (1) W DIPOTONG, PENGHASILAN A DISETOR DAN WP ORANG PRIBADI J DILAPORKAN I DALAM NEGERI B PPh -NYA BERUPA OLEH GAJI, UPAH, HONOR, TUNJANGAN, DAN PEMBAYARAN LAIN SBG IMBALAM MENYANGKUT PEKERJAAN YG PEMBERI KERJA DILAKUKAN OLEH PEGAWAI ATAU BUKAN PEGAWAI GAJI, UPAH, HONOR, TUNJANGAN, DAN BENDAHARAWAN PEMBAYARAN LAIN YANG PEMERINTAH MENYANGKUT PEKERJAAN, JASA, ATAU KEGIATAN UANG PENSIUN ATAU PEMBAYARAN DANA PENSIUN LAIN DALAM RANGKA PENSIUN HONORARIUM ATAU IMBALAN SERTA BADAN YANG PEMBAYARAN LAIN SEHUBUNGAN MENBAYAR DENGAN JASA PEMBAYARAN ATAU IMBALAN PENYELENGGARA SEHUBUNGAN KEGIATAN DENGAN ADANYA KEGIATAN 88
- 89. TIDAK TERMASUK SEBAGAI PEMBERI KERJA Pasal 21 ayat (2) - BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING - ORGANISASI INTERNASIONAL SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 3 UU PPh 89
- 90. PENGHASILAN PEGAWAI TETAP ATAU PENSIUNAN Pasal 21 ayat (3) DIPOTONG PAJAK UNTUK SETIAP BULAN DARI JUMLAH PENGHASILAN BRUTO SETELAH DIKURANGI DENGAN : q Biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan Menteri Keuangan (250/PMK.03/2008) q Iuran pensiun q Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 90
- 91. PENGHASILAN PEGAWAI HARIAN, MINGGUAN, SERTA PEGAWAI TIDAK TETAP LAINNYA Pasal 21 ayat (4) DIPOTONG PPh 21 DARI JUMLAH PENGHASILAN BRUTO SETELAH DIKURANGI DENGAN : Bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan Menteri Keuangan (254/PMK.03/2008) 91
- 92. Tarif Pemotongan sesuai dengan Tarif Pasal 17 ayat (1) Kecuali ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Pasal 21 ayat (5) Seperti Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua (PP No. 149 Tahun 2000) 92
- 93. T A RI F L EB I H T I N GGI U N T U K WA J I B PA J A K N ON N PWP Pasal 21 ayat (5a) TARI F PPH PASAL 21 BAGI WP NON NPWP 20% LEBI H TI NGGI DARI PADA TARI F YANG DI TERAPKAN KEPADA WAJI B PAJAK YANG DAPAT MENUNJUKKAN NPWP 93
- 94. PEN GH A SI L A N Y A N G DI T ERI M A A T A U DI PEROL EH DA RI 1 (SA T U ) PEM B ERI K ERJ A Pasal 21 ayat (6) dan ayat (7) DI H A PU S 94
- 95. PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA ATAU KEGIATAN Pasal 21 ayat (8) PERATURAN MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN PETUNJUK MENGENAI PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH 21 ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA ATAU KEGIATAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 252/PMK.03/2008 95
- 96. PEMUNGUT PPh PASAL 22 Pasal 22 ayat (1) MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN BENDAHARAWAN BADAN2 WP BADAN PEMERINTAH TERTENTU TERTENTU 253/PMK.03/2008 UNTUK MEMUNGUT PAJAK SEHUBUNGAN DARI WP YANG DARI PEMBELI DENGAN MELAKUKAN ATAS PENJUALAN PEMBAYARAN IMPOR ATAU BARANG SANGAT ATAS KEGIATAN MEWAH PENYERAHAN LAIN BARANG DASAR PEMUNGUTAN, KRITERIA, SIFAT DAN BESARNYA PUNGUTAN DIATUR DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN (254/KMK.03/2001 Jo 210/PMK.03/2008) 96
- 97. T A RI F L EB I H T I N GGI U N T U K WA J I B PA J A K N ON N PWP Pasal 22 ayat (3) TARI F PPH PASAL 22 BAGI WP NON NPWP 100% LEBI H TI NGGI DARI PADA TARI F YANG DI TERAPKAN KEPADA WAJI B PAJAK YANG DAPAT MENUNJUKKAN NPWP 97
- 98. PEMOTONG PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (1)dan ayat (3) • BADAN PEMERINTAH • SUBJEK PAJAK BADAN DALAM NEGERI • PENYELENGGARA KEGIATAN • BENTUK USAHA TETAP • PERWAKILAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI LAINNYA • ORANG PRIBADI SEBAGAI WP DALAM NEGERI TERTENTU YANG DITUNJUK OLEH DIRJEN PAJAK 98
- 99. PENGHASILAN WP DALAM NEGERI ATAU BUT YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PSL 23 Pasal 23 ayat (1) PPh PASAL 23 • DIVIDEN • BUNGA TERMASUK PREMIUM, DISKONTO, DAN IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN JAMINAN PENGEMBALIAN UTANG • ROYALTI • HADIAH, PENGHARGAAN, BONUS DAN SEJENISNYA SELAIN YG TELAH DIPOTONG PPh Ps. 21 • SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DGN PENGGUNAAN HARTA KECUALI YANG SDH DIKENAI PPH PS 4 (2) • IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN : - JASA TEKNIK - JASA MANAJEMEN - JASA KONSTRUKSI - JASA KONSULTAN - JASA LAIN SELAIN JASA YG TELAH DIPOTONG PPh PSL 21 99
- 100. TARIF DAN DASAR PEMOTONGAN PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (1) TARIF 15% TARIF 2% DARI DARI JUMLAH JUMLAH BRUTO BRUTO • DIVIDEN SEWA DAN • BUNGA TERMASUK PREMIUM, PENGHASILAN LAIN DISKONTO, IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN SEHUBUNGAN DENGAN JAMINAN PENGGUNAAN HARTA PENGEMBALIAN UTANG KECUALI YANG SUDAH • ROYALTI DIKENAI PPH PASAL 4 (2) HADIAH, PENGHARGAAN, IMBALAN JASA : BONUS DAN SEJENISNYA • JASA TEKNIK; SELAIN YG TELAH DIPOTONG • JASA MANAJEMEN; PPh Ps. 21 • JASA KONSULTAN • JASA KONSTRUKSI JASA LAIN SELAIN JASA YG TELAH DIPOTONG PPh PASAL 21 100
- 101. T A RI F L EB I H T I N GGI U N T U K WA J I B PA J A K N ON N PWP Pasal 23 ayat (1a) TARI F PPH PASAL 23 BAGI WP NON NPWP 100% LEBI H TI NGGI DARI PADA TARI F YANG DI TERAPKAN KEPADA WAJI B PAJAK YANG DAPAT MENUNJUKKAN NPWP 101
- 102. JENIS JASA LAIN DAN PENUNJUKAN ORANG PRIBADI SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (2) dan (3) JENIS JASA LAIN DIATUR LEBIH LANJUT DENGAN PERATURAN MENKEU (244/PMK.03/2008) DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG MENUNJUK WP ORANG PRIBADI DALAM NEGERI UNTUK MEMOTONG PPh PASAL 23 KEP. DIRJEN NO. KEP-50/PJ./1994 102
- 103. DIKECUALIKAN DARI PEMOTONGAN PPh PASAL 23 Pasal 23 ayat (4) PENGHASILAN YANG DIKECUALIKAN PENGHASILAN YANG DIBAYAR/TERUTANG KEPADA BANK SEWA YANG DIBAYARKAN/TERUTANG SEHUBUNGAN DENGAN SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI DIVIDEN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 4 AYAT (3) HURUF F DAN DIVIDEN YANG DITERIMA OLEH ORANG PRIBADI SEBAGAIMANA DIMAKSUD DLM PASAL 17 AYAT (2C) BAGIAN LABA YG DITERIMA/DIPEROLEH ANGGOTA DARI PERSE- ROAN KOMANDITER YANG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SA- HAM-SAHAM, PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA DAN KONGSI SHU KOPERASI YG DIBAYARKAN KEPADA ANGGOTANYA PENGHASILAN YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG KEPADA BADAN USAHA ATAS JASA KEUANGAN YANG BERFUNGSI SEBAGAI PENYALUR PINJAMAN DAN/ATAU PEMBIAYAAN YANG DIATUR DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN ( 251/PMK.03/2008) 103
- 104. PENGKREDITAN PPh YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI Pasal 24 ayat (1), (2), (5), dan (6) PPh YANG DIBAYAR ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH DARI LUAR NEGERI OLEH WP DALAM NEGERI BOLEH DIKREDITKAN DENGAN PPh YANG TERUTANG DLM THN PAJAK YANG SAMA SEBESAR PAJAK PENGHASILAN YANG DIBAYAR/TERUTANG DI LUAR NEGERI, TETAPI TIDAK BOLEH MELEBIHI PENGHITUNGAN PAJAK YANG TERUTANG BERDASARKAN UU PPh APABILA PPh DARI LUAR NEGERI YANG TELAH DIKREDITKAN TERNYATA DIKURANGKAN/ DIKEMBALIKAN, MAKA PPh YANG TERUTANG MENURUT UU PPh HARUS DITAMBAH DGN JUMLAH TERSEBUT PADA TAHUN PENGURANGAN ATAU PENGEMBALIAN DILAKUKAN 104
- 105. PENGHITUNGAN BATAS PPh YANG BOLEH DIKREDITKAN Pasal 24 ayat (3) dan (4) DITENTUKAN BERDASARKAN SUMBER PENGHASILAN 1. PENGHASILAN DARI : a. Saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat ; badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut berkedudukan; ; b. Bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada; c. Sewa harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak; d. Imbalan sehubungan dengan jasa,pekerjaan dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada; e. Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. 105
- 106. PENGHITUNGAN BATAS PPh YANG BOLEH DIKREDITKAN Pasal 24 ayat (3) dan (4) DITENTUKAN BERDASARKAN SUMBER PENGHASILAN 1. PENGHASILAN DARI : f. Pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi pertambangan berada g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian suatu Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk UsahaTetap berada 2. PENGHASILAN LAINNYA DENGAN MENGGUNAKAN PRINSIP YANG SAMA DENGAN NOMOR 1 DI ATAS. 106
- 107. ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN Pasal 25 ayat (1) BESAR ANGSURAN PPh PASAL 25 SETIAP BULAN SAMA DENGAN PPh TERUTANG MENURUT SPT TAHUNAN PPh THN PAJAK YG LALU DIKURANGI PPh YANG PPh YANG DIPOTONG ATAU TERUTANG ATAU DIPUNGUT : DIBAYAR DI LUAR NEGERI PPh PSL 21 YANG BOLEH PPh PSL 22 DIKREDITKAN PPh PSL 23 (PPh PSL 24) DIBAGI 12 (DUA BELAS) ATAU BANYAKNYA BULAN DALAM BAGIAN TAHUN PAJAK 107
- 108. CONTOH PENGHITUNGAN ANGSURAN PPh 25 PPh TERUTANG MENURUT SPT TAHUNAN PPh 2000 SEBESAR Rp 50.000.000,00 DIKURANGI : a. PPh YG DIPOTONG PEMBERI KERJA Rp 15.000.000,00 (PPh PSL. 21) b. PPh YG DIPUNGUT PIHAK LAIN Rp 10.000.000,00 (PPh PSL. 22) c. PPh YANG DIPOTONG PIHAK LAIN (PPh PSL 23) Rp 2.500.000,00 d. KREDIT PPh LUAR NEGERI Rp 7.500.000,00 (PPh PSL. 24) JUMLAH KREDIT PAJAK (Rp 35.000.000,00) SELISIH Rp 15.000.000,00 BESARNYA ANGSURAN YG HRS DIBAYAR SENDIRI SETIAP BULAN UTK THN 2001 SEBESAR 1/12 X Rp 15.000.000,00 YAITU Rp 1.250.000,00 108
- 109. ANGSURAN BULANAN UNTUK BULAN SEBELUM PENYAMPAIAN SPT SEBELUM BATAS WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh Pasal 25 ayat (2) SAMA BESARNYA DENGAN : - Angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu CONTOH : Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Pebruari 2010 maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00. Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil, sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, maka besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember, yaitu nihil. 109
- 110. ANGSURAN PPh PASAL 25 APABILA TELAH DITERBITKAN skp U N T U K 2 (DU A ) T A H U N PA J A K SEB EL U M TAHUN SPT TAHUNAN PPh Pasal 25 ayat (3) DI H A PU S 110
- 111. ANGSURAN PPh PASAL 25 APABILA DALAM TAHUN BERJALAN DITERBITKAN skp UNTUK TAHUN PAJAK YANG LALU Pasal 25 ayat (4) ANGSURAN PAJAK DIHITUNG KEMBALI BERDASARKAN skp TAHUN PAJAK YANG LALU, BERLAKU MULAI BULAN BERIKUTNYA SETELAH BULAN PENERBITAN skp CONTOH : - BERDASARKAN SPT TAHUNAN PPh 2009, BESARNYA ANGSURAN PAJAK RP. 1.250.000,00 - JUNI 2010 DITERBITKAN SKP TAHUN 2009 MENGHASILKAN ANGSURAN SETIAP BULAN RP. 2.000.000,00 * ANGSURAN PAJAK MULAI JULI 2010 SEBESAR Rp 2.000.000,00 111
- 112. ANGSURAN PPh PASAL 25 ATAS SPT TAHUNAN PPh LEBIH BAYAR Pasal 25 ayat (5) DI H A PU S 112
- 113. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN DALAM HAL-HAL TERTENTU Pasal 25 ayat (6) DIREKTUR JENDERAL PAJAK BERWENANG MENETAPKAN ANGSURAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN APABILA : WP BERHAK ATAS KOMPENSASI KERUGIAN WP MEMPEROLEH PENGHASILAN TIDAK TERATUR SPT TAHUNAN PPh TAHUN YG LALU DISAMPAIKAN SETELAH LEWAT BATAS WAKTU YG DITENTUKAN WP DIBERIKAN PERPANJANGAN JANGKA WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN PPh WP MEMBETULKAN SENDIRI SPT THNAN PPh YG MENGAKIBATKAN ANGSURAN BULANAN LEBIH BESAR DARI ANGSURAN BULANAN SEBELUM PEMBETULAN TERJADI PERUBAHAN KEADAAN USAHA ATAU KEGIATAN WP 113
- 114. ANGSURAN PPh PASAL 25 BAGI WP TERTENTU Pasal 25 ayat (7) MENTERI KEUANGAN BERWENANG MENETAPKAN PENGHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PPh PASAL 25 BAGI : • Wajib Pajak baru • Wajib Pajak Bank • Badan Usaha Milik Negara • Badan Usaha Milik Daerah • Wajib Pajak Masuk Bursa • Wajib Pajak tertentu lainnya yang harus membuat laporan keuangan berkala • WP OP Pengusaha Tertentu dg tarif maksimal 0,75% dari omzet 255/ PMK.03/ 2008 114
- 115. FISKAL LUAR NEGERI Pasal 25 ayat (8) WP ORANG PRIBADI DN YANG TIDAK MEMILIKI NPWP DAN TELAH BERUSIA 21 TAHUN YANG BERTOLAK KE LUAR NEGERI WAJIB MEMBAYAR PAJAK DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH Ke t e n t u a n se ba ga im a n a dim a k su d pa da a ya t ( 8 ) be r la k u sa m pa i de n ga n t a n gga l 3 1 D e se m be r 2 0 1 0 . 115
- 116. PEMOTONG, OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 26 Pasal 26 * BADAN PEMERINTAH * SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI PEMOTONG * PENYELENGGARA KEGIATAN PPh 26 * BENTUK USAHA TETAP * PERWAKILAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI LAINNYA OBJEK DIPOTONG PENGHASILAN WP LUAR NEGERI : PPh PSL 26 DGN TARIF DIVIDEN, BUNGA,ROYALTI, SEWA, IMBALAN SEHUB. DGN. JASA, 20 % DARI PEKERJAAN,KEGIATAN,HADIAH DAN JUMLAH BRUTO PENGHARGAAN, PENSIUN DAN (FINAL) PEMBAYARAN BERKALA LAINNYA, PREMI SWAP, DAN KEUNTUNGAN PEMBEBASAN UTANG PENGHASILAN DARI PENJUALAN ATAU PENGALIHAN HARTA DI INDONESIA KECUALI YG DIATUR DLM PASAL 4 (2) (82/PMK.03/2009) DAN PREMI ASURANSI/REASURANSI YANG 20 % DARI DIBAYARKAN KPD PERUSAHAAN PERKIRAAN ASURANSI LN PENGHASILAN PENGHASILAN DARI PENJUALAN NETO (FINAL) ATAU PENGALIHAN SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 18 AYAT (3C) ( 258/PMK.03/2008) PELAKSANAAN KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DGN PERMENKEU 116
- 117. PEMOTONG, OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 26 Pasal 26 * BADAN PEMERINTAH * SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI PEMOTONG * PENYELENGGARA KEGIATAN PPh 26 * BENTUK USAHA TETAP * PERWAKILAN PERUSAHAAN LUAR NEGERI LAINNYA OBJEK DIPOTONG PENGHASILAN WP LUAR NEGERI : PPh PSL 26 DGN TARIF PKP SETELAH DIKURANGI 20 % DARI PPh BUT DI INDONESIA, PKP DIKURANGI KECUALI PENGHASILAN PPh BUT TSB DITANAM KEMBALI DI (FINAL) INDONESIA PELAKSANAAN KETENTUANNYA DIATUR LEBIH LANJUT DGN PERATURAN MENKEU 257/PMK.03/2008 117
- 118. CONTOH PENGHITUNGAN PPh PASAL 26 PADA BUT PENGHASILAN KENA PAJAK BUT DI INDONESIA Rp 17.500.000.000,00 PPh TERUTANG : 28% X Rp 17.500.000.000 = Rp 4.900.000.000,00 PENGH. KENA PAJAK Rp 12.600.000.000,00 PPh PSL 26 YG DIPOTONG (20%) (Rp 2.520.000.000,00) APABILA DITANAMKAN KEMBALI DI INDONESIA SESUAI PER MENKEU, MAKA TIDAK DIPOTONG PAJAK 118
- 119. PEMOTONGAN PPh PASAL 26 YANG TIDAK BERSIFAT FINAL Pasal 26 ayat (5) PEMOTONGAN ATAS : a. -. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan oleh BUT di Indonesia - Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT 119
- 120. SAAT TERUTANG PPh PASAL 26 Pasal 26 ayat (6) SAAT TERUTANG PAJAK ATAS PENGHASI LAN SEBAGAI MANA DI MAKSUD PADA AYAT ( 1) ADALAH PADA SAAT PEMBAYARAN ATAU JATUH TEMPO 120
- 121. KREDIT PAJAK BAGI WP DALAM NEGERI DAN BUT Pasal 28 ayat (1) dan (2) PEMOTONGAN PPh DARI PASAL 21 PEKERJAAN,JASA DAN KEGIATAN LAIN PEMUNGUTAN PPh DARI KEGIATAN DI PASAL 22 BIDANG IMPOR ATAU KEGIATAN USAHA DI BIDANG LAIN PEMOTONGAN PPh DARI PASAL 23 DIVIDEN,BUNGA,ROYALTI,SEWA, HADIAH DAN PENGHARGAAN, DAN IMBALAN LAIN PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG PASAL 24 ATAS PENGHASILAN DARI LUAR NEGERI YANG BOLEH DIKREDITKAN PASAL 25 PEMBAYARAN YG DILAKUKAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI PASAL 26 PEMOTONGAN PAJAK ATAS AYAT (5) PENGHASILAN YG TDK BERSIFAT FINAL SANKSI ADMINISTRASI BERUPA TIDAK BOLEH BUNGA, DENDA DAN KENAIKAN DIKREDITKAN SERTA SANKSI PIDANA BERUPA DENDA 121
- 122. CONTOH PENGHITUNGAN KREDIT PAJAK: PPh TERUTANG WP ORG PRIBADI Rp 80.000.000,00 KREDIT PAJAK : a. PPh YG DIPOTONG PEMBERI KERJA Rp 5.000.000,00 (PPh PSL. 21) b. PPh YG DIPUNGUT PIHAK LAIN Rp 10.000.000,00 (PPh PSL. 22) c. PPh YANG DIPOTONG PIHAK LAIN PPh PSL 23 (DARI MODAL) Rp 5.000.000,00 d. KREDIT PPh LUAR NEGERI Rp 15.000.000,00 (PPh PSL. 24) e. DIBAYAR SENDIRI OLEH WP (PPh PSL 25) Rp 10.000.000,00 JUMLAH PPh YG DPT DIKREDITKAN (Rp 45.000.000,00) PPh YG MASIH HARUS DIBAYAR Rp 35.000.000,00 122
- 123. RESTITUSI PPh Pasal 28 A PAJAK TERUTANG PADA SUATU TAHUN PAJAK LEBIH KECIL DARI JUMLAH KREDIT PAJAK SETELAH DILAKUKAN PEMERIKSAAN KELEBIHAN SETELAH PEMBAYARAN DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK PAJAK LAINNYA DIKEMBALIKAN BERIKUT SANKSI 123
- 124. BATAS WAKTU PEMBAYARAN PPh PADA AKHIR TAHUN PAJAK Pasal 29 PAJAK TERUTANG UNTUK SATU TAHUN PAJAK LEBIH BESAR DARI JUMLAH KREDIT PAJAK KEKURANGAN PAJAK YANG TERUTANG HARUS DILUNASI SEBELUM SPT TAHUNAN PPH DISAMPAIKAN 124
- 125. FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 A DENGAN PERATURAN PEMERINTAH DAPAT DIBERIKAN FASILITAS PERPAJAKAN a. PENGURANGAN PENGHASILAN NETO PALING TINGGI 30% DARI JUMLAH PENANAMAN YANG DILAKUKAN b. PENYUSUTAN DAN AMORTISASI YANG DIPERCEPAT c. KOMPENSASI KERUGIAN YANG LEBIH LAMA TETAPI TIDAK LEBIH DARI 10 TAHUN d. PENGURANGAN PPh ATAS DIVIDEN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM Pasal 26 SEBESAR 10% KECUALI APABILA TARIF MENJADI PERJANJIAN PERPAJAKAN YANG BERLAKU MENETAPKAN LEBIH RENDAH BAGI WAJIB PAJAK YG MELAKUKAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG USAHA TERTENTU YANG MENDAPAT PRIORITAS TINGGI DALAM DALAM SKALA DI DAERAH NASIONAL TERTENTU 125
- 126. FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 A PERATURAN PEMERINTAH SEHUBUNGAN DENGAN FALISITAS PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 147 TAHUN 2000 jo. NOMOR 1 TAHUN 2007 jo. PP KMK NOMOR 11/KMK.04/2001 NOMOR 62 TAHUN 2008 BERLAKU UNTUK KAPET BERLAKU SECARA UMUM 126
- 127. FASILITAS PERPAJAKAN Pasal 31 B 127
- 128. PEMBAGIAN PENERIMAAN PAJAK UNTUK PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH Pasal 31 C PEMBAGIAN PENERIMAAN NEGARA DARI PPh. OP DALAM NEGERI DAN PPH PASAL 21 YANG DIPOTONG OLEH PEMBERI KERJA DIBAGI DENGAN IMBANGAN 80% UNTUK PEMERINTAH PUSAT DAN 20% UNTUK PEMERINTAH DAERAH TEMPAT WP TERDAFTAR 128
- 129. KETENTUAN MIGAS, PANAS BUMI, PERTAMBANGAN UMUM DAN SYARIAH Pasal 31 D PERATURAN PEMERI NTAH MENGATUR LEBI H LANJUT KETENTUAN PERPAJAKAN BAGI BI DANG USAHA TERTENTU • PERTAMBANGAN MI GAS • PANAS BUMI • PERTAMBANGAN UMUM • BERBASI S SYARI AH ( PP 2 5 / 2 0 0 9 ) 129
- 130. PENGURANGAN TARIF PASAL 17 Pasal 31 E FASI LI TAS PENGURANGAN TARI F PASAL 17 UNTUK BENTUK WAJIB PAJAK PENGURANGAN BADAN DALAM TARIF SEBESAR 50% NEGERI DENGAN DARI TARIF SEBAGAIMANA PEREDARAN BRUTO DIMAKSUD DALAM SAMPAI DENGAN RP PASAL 17 AYAT (1) 50 M HURUF B DAN AYAT (2A) YANG DIKENAKAN ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK DARI BAGIAN PEREDARAN BRUTO SAMPAI DENGAN RP 4,8 M 130
- 131. TATA CARA PENGENAAN PAJAK DAN SANKSI-SANKSI Pasal 32 TATA CARA PENGENAAN PAJAK DAN SANKSI-SANKSI BERKENAAN DENGAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PPh DIATUR DALAM UU NO. 6 TH 1983 JO UU NO. 28 TH 2007 131
- 132. PERJANJIAN PERPAJAKAN DENGAN NEGARA LAIN Pasal 32 A dan 32 B PEMERINTAH BERWENANG UNTUK MELAKUKAN PERJANJIAN DENGAN PEMERINTAH NEGARA LAIN DALAM RANGKA PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK KETEN TUAN M EN GEN AI PEN GEN AAN PAJAK ATAS BUN GA ATAU D I SKON TO OBLI GASI N EGARA YAN G DIPERDAGANGKAN DI NEGARA LAIN BERD ASARKAN PERJAN JI AN PERLAKUAN TI M BAL BALI K D EN GAN N EGARA TERSEBUT D I ATUR D EN GAN PERATURAN PEMERINTAH 132
- 133. KETENTUAN PERALIHAN PERATURAN PELAKSANAAN YANG MASIH BERLAKU Pasal 34 Pe r a t ur a n pe la k sa n a a n di bida n g Pa j a k Pe n gh a sila n ya n g m a sih be r la k u pa da sa a t be r la k u n ya Un da n g- u n da n g in i din ya t a k a n t e t a p be r la k u se pa n j a n g t ida k be r t e n t a n ga n de n ga n k e t e n t u a n da la m Un da n g- u n da n g in i. 133
- 134. HAL-HAL YANG BELUM CUKUP DIATUR DALAM RANGKA PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG INI LEBIH LANJUT DIATUR DENGAN PERATURAN PEMERINTAH (Pasal 35) 134
- SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar